QUO VADIS MASA DEPAN PERTANIAN KARO?

Prolog 1:

Dunia sedang menghadapi ancaman besar: krisis pangan global. Menurut FAO (2023), lebih dari 783 juta orang di dunia mengalami kelaparan kronis. PBB bahkan memperingatkan bahwa hingga 2050, kebutuhan pangan global akan meningkat 60%, sementara produktivitas lahan dan jumlah petani di berbagai belahan dunia terus menurun.


Perubahan iklim, konflik geopolitik, pandemi global, serta kerusakan ekosistem telah menyebabkan rantai pasok pangan terganggu dan harga bahan pangan melonjak. Negara-negara maju mulai serius memperkuat sektor pertanian mereka, termasuk dengan mengembangkan pendidikan pertanian sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi.


Namun, ironi besar justru terjadi di tempat yang memiliki potensi luar biasa: Kabupaten Karo. Tanah yang subur, iklim yang mendukung, budaya pertanian yang mengakar kuat, PDRB pertanian mencapai Rp 15 triliun per tahun—tapi pendidikan pertanian justru bukan menjadi prioritas utama. Data BPS Karo (2023) menunjukkan penurunan signifikan dalam jumlah rumah tangga petani, produktivitas lahan dan minat generasi muda terhadap pertanian.


Di situasi dunia yang semakin mengalami krisis pangan, masyarakat Karo justru menjauh dari akar kekuatannya. Quo vadis, Pertanian Karo? Ke mana arah yang ingin dituju?


Prolog 2:

Di sebuah kelas di desa, anak-anak diajari sejarah perang dunia ke-2 sementara mereka masih belum mengerti mengapa lahan pertanian di sekitarnya semakin gersang. Di sebuah kelas di kota, siswa SMA menjawab soal-soal trigonometri, namun masih bingung mengatasi banjir yang rutin menggenangi rumahnya.


John Dewey, filsuf pendidikan terkemuka abad ke-20, mengingatkan: “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.” Namun, sistem pendidikan yang dijalankan justru menjadi menara gading yang terpisah dari denyut nadi masyarakatnya.


Pertanyaan pentingnya: “Mengapa akar pendidikan harus tertanam dalam di tanah komunitasnya?” Sekurangnya, ada 5 (lima) wawasan yang menjadi pertimbangan :


1. Pendidikan yang Relevan: Dari Teori ke Konteks Nyata


Pendidikan kontekstual menekankan pentingnya mengaitkan pelajaran dengan kehidupan nyata. Di Karo, pendidikan semestinya dominan mengangkat persoalan pertanian lokal—mulai dari teknik pertanian ramah lingkungan, pengelolaan pascapanen hingga digitalisasi pemasaran hasil tani.


Dampak:

Siswa mampu memahami langsung manfaat ilmu yang dipelajari, meningkatkan antusiasme dan partisipasi aktif, serta menumbuhkan solusi nyata atas persoalan seperti gagal panen atau harga hasil tani yang merosot.


Kata tokoh: 

"Tell me and I forget. Teach me and I remember. Involve me and I learn."

— Benjamin Franklin, USA (1706–1790), negarawan dan inventor


2. Memupuk Motivasi Pribadi: Belajar untuk Kehidupan, Bukan demi Nilai


Ketika pendidikan dikaitkan dengan realita sehari-hari, seperti kondisi lahan atau keberlanjutan pangan keluarga, siswa merasa belajar bukan untuk ujian tetapi demi kehidupan yang lebih baik.


Kritik:

Model pendidikan konvensional yang berorientasi pada ujian justru menumpulkan kepekaan sosial siswa terhadap realitas sekitarnya.


Kata tokoh:

“Don’t let schooling interfere with your education.”

— Mark Twain, USA (1835–1910), penulis dan kritikus sosial


3. Pelestarian Budaya dan Kearifan Lokal: Sekolah sebagai Penjaga Identitas


Pendidikan kontekstual memungkinkan siswa-siswa di Karo mempelajari praktik-praktik leluhur seperti pengelolaan tanah, tradisi gotong royong, serta sistem pertanian berkelanjutan yang dulu massif di praktikkan para pendahulu.


Paradoks:

Hilangnya pengetahuan lokal tentang rotasi tanam dan pengelolaan air karena generasi muda lebih diarahkan pada ilmu yang tidak kontekstual dengan lingkungan pertanian Karo.


Kata tokoh:

"A nation’s culture resides in the hearts and in the soul of its people."

—Mahatma Gandhi, India (1869–1948), Tokoh perdamaian dunia


4. Membangun Keterampilan Sosial: Sekolah sebagai Laboratorium Masyarakat


Dengan mengaitkan pelajaran pada proyek-proyek sosial seperti urban farming, koperasi siswa atau kampanye pangan lokal, sekolah menjadi tempat anak-anak berlatih kepemimpinan, kolaborasi dan komunikasi.


Kontras:

Sekolah yang hanya menekankan ranking dan kompetisi mengabaikan dimensi sosial pembelajaran, membuat siswa apatis terhadap lingkungannya.


Kata tokoh:

“The function of education is to teach one to think intensively and to think critically. Intelligence plus character — that is the goal of true education.”

— Martin Luther King Jr., USA (1929–1968), aktivis masyarakat, penerima Nobel Perdamaian 


5. Dunia Pertanian: Laboratorium Alam Terkaya


Dunia pertanian bukan sekadar hamparan sawah atau kebun yang menghasilkan pangan. Ia adalah laboratorium alam terbuka paling kompleks dan kaya yang pernah ada—tempat ilmu pengetahuan, ekologi, budaya dan inovasi bertaut dalam siklus kehidupan yang tak terputus. Setiap jengkal tanah tersimpan data biodiversitas, setiap musim menjadi eksperimen adaptasi iklim dan setiap tradisi bertani adalah kearifan yang teruji berabad lamanya. 


Dampak : 

Dunia pertanian menyediakan laboratorium alam yang paling mudah diakses, termurah di bangun dan termudah dikembangkan. Massif-nya eksperimen bisa dilakukan melebihi sektor lainnya. Bukankah ukuran kecerdasan adalah belajar dari banyak pengalaman eksperimen?


Kata tokoh:

"Intelligence is the ability to learn from experience"

—Albert Einstein (1879–1955), ilmuwan, Jerman


PENUTUP:

Masa depan pertanian Karo tidak bisa bergantung pada generasi yang dibesarkan oleh pendidikan yang tidak membumi di tanahnya sendiri. Pendidikan mesti kembali ke akarnya—menumbuhkan pengetahuan, karakter dan berbuahkan kreatifitas hingga inovasi yang men-solusi berbagai problem yang ada. 


Jika dimasa lalu pendidikan model seperti ini diperjuangkan, tidak mustahil hari ini "Tidak akan ada ayam yang setengah mati di lumbung padi". Akan banyak anak-anak muda Karo yang menjadi duta dan berkiprah menjadi problem solver di desanya, di level nasional hingga mancanegara. 


Begitupun, tidak ada yang terlambat jika seseorang semakin memahami keberadaan dirinya sendiri!


The meaning of life is to find your gift. The purpose of life is to give it away.” 

(Pablo Picasso)


—Mahendra Tlapta Sitepu

Pembina Sekolah Alam Bukit Hijau, Pemerhati inovasi, Founder Pak Tani Digital