Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi: Menjaga Adat dan Budaya yang Luhur
Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi: Menjaga Adat dan Budaya yang Luhur
Oleh: Edi Warta Surbakti, Ulu Karo
Kampung Adat Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi di Jawa Barat tetap melestarikan adat...
Kampung Adat Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi di Jawa Barat tetap melestarikan adat dan budaya nenek moyangnya. Peradaban mereka yang luar biasa telah membuktikan kemampuannya bertahan lama. Salah satu tradisi utama yang masih dijaga hingga kini adalah cara mereka bertani padi. Setiap tahun, mereka menanam padi tanpa menggunakan pupuk kimia, dan menariknya, selama lebih dari 600 tahun, mereka tidak pernah gagal panen. Saat ini, stok padi mereka diperkirakan cukup untuk kebutuhan lebih dari 90 tahun ke depan. Bagi masyarakat Kasepuhan, padi dipandang sebagai sosok Dewi Sri yang dihormati dan dianggap sebagai sumber kehidupan. Begitu pula dengan masyarakat Karo yang pada masa kejayaannya juga sangat menjaga dan menghormati peradabannya. Bagi mereka, padi tidak hanya sekadar tanaman, tetapi juga dipersonifikasikan sebagai Beru Dayang, sosok yang dihormati dalam berbagai tahapan kehidupan padi. Beberapa penyebutan Beru Dayang dalam budaya Karo antara lain:
  • Beru Dayang Rugun Rugun – Benih padi yang sudah ada di dalam lubang.
  • Beru Dayang Buniken – Benih padi yang sudah ditanam.
  • Beru Dayang Melembing – Benih padi yang sudah tumbuh.
  • Beru Dayang Meduk-Eduk – Pohon padi yang sudah berbatang dan mulai berbunga.
  • Beru Dayang Rumincet – Pohon padi yang bunganya sudah berisi padi.
  • Beru Dayang Pedolan-Dolan atau Perinte-Rinte – Padi yang sudah tua dan siap dipanen.
  • Beru Dayang Pegungun – Padi yang telah dipanen dan siap disimpan di lumbung.
Proses penanaman padi dalam budaya Karo juga bukan hanya sekadar aktivitas bertani, melainkan merupakan rangkaian ritual dan pesta yang diadakan pada setiap tahapannya:
  • Merdang Merdem – Ritual dan pesta saat padi ditanam.
  • Nimpa Bunga Benih – Ritual dan pesta saat padi sudah tumbuh.
  • Mere Page – Ritual dan pesta saat padi mulai berisi pada bunga-bunganya (Mbeltek atau Rumincet).
  • Mahpah – Ritual dan pesta saat padi mulai menua dan bisa dijadikan makanan (Pahpah).
  • Mboro Ate Tedeh – Ritual dan pesta saat padi sudah menua dan dijaga agar tidak dimakan burung (Mboro-Muro).
  • Mutik Page, Kerja Rani – Ritual dan pesta saat memanen padi dan menyimpan hasil panen (Nama Page Ku Keben).
Saudara-saudara kita di Kasepuhan, yang menghargai padi sebagai Dewi Sri, menanam padi hanya setahun sekali dan memiliki stok yang cukup untuk lebih dari 90 tahun. Keberhasilan ini tidak terlepas dari kemauan mereka untuk menjaga peradaban yang telah diwariskan turun-temurun. Bagaimana dengan masyarakat Karo? Apakah kita masih menghormati Beru Dayang seperti pada masa kejayaan Karo, yang begitu berdaulat dan bermartabat? Identitas dan peradaban Karo adalah dua hal yang harus kita jaga dan kembalikan bersama. Mari kita lestarikan adat dan budaya Karo, karena meskipun zaman terus berubah, tradisi dan budaya Karo akan tetap relevan sepanjang masa.
Tumbuk Lada, Menakutkan Atau Membanggakan?
Tumbuk Lada, Menakutkan Atau Membanggakan?
Oleh: Lisentia br Tarigan
Tradisi Tumbuk Lada memiliki nilai budaya dan filosofi mendalam di masyarakat Karo...
Pengantar.

Apak Kesan ndu kalau mendengar Tumbuk Lada ? Ngeri, bergidik atau bangga ? Banyak orang Karo yang melihat tumbuk lada hanya alat untuk menikam, tah pe ipake guna nebak. Sehingga cenderung menghindarinya. Ternyata, banyak sekali nilai dan muatan budaya di dalam tumbuk lada.

Seorang mahasiswi cantik Jurusan sejarah dari Universitas Medan, melakukan penelitan skpripsinya tentang tumbuk lada dan menemukan makna filosis nya dalam budaya Karo. Baca dan simaklah artikel ini supaya lebih memahami dan mencintai budaya Karo yang sangat kaya nilai nilai filosofis kehidupan.

TRADISI MBERE BESI MERSIK PEYERAHAN TUMBUK LADA PADA ETNIS KARO DI DESA MBETUNG KECAMATAN JUHAR

Sumatera Utara memiliki banyak etnis yang tersebar didalamnya, salah satunya etnis Karo di Desa Mbetung. Desa ini merupakan desa yang terletak di Kabupaten Karo Kecamatan Juhar Sumatera Utara. Desa tersebut dihuni oleh penduduk asli desa tersebut dengan tradisinya, desa ini juga dikenal sebagai desa yang menghargai leluhurnya yang dapat di lihat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan seperti merdang merdem (kerja tahun) yang dilakukan biasanya tepat setelah acara menanam padi di sawah selesai, sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepda TYME yang masih dilakukan setiap tahunnya atau juga yang sering dikenal dengan sebutan pesta tahunan yang memiliki manfaat ataupun dampak besar bagi penduduk desa ini. Sejalan dengan Tradisi Mbere besi mersik juga merupakan suatu tradisi yang diperoleh leluhur etnis karo yang menjadi identitas dari desa Mbetung Kecamatan Juhar. Mbere (memberi), Besi (Senjata tradisional Tumbuk Lada), Mersik (kuat, kokoh, berani) dimana masyarakat percaya bahwa tradisi Mbere Besi Mersik /Penyerahan Tumbuk Lada penting untuk dilakukan karena mereka meyakini tradisi ini sebagai penguat roh dan pengikat roh. Tradisi ini adalah hal yang lumrah dilakukan karena secara garis besar tradisi ini adalah ritual yang wajib dan berdampak besar bagi seseorang yang sudah menerima dan pun yang belum menerima nya. Adapun filosofi yang menjadikan tradisi ini masih ada sampai saat ini, dikarenakan adanya pengaruh besar dari sistem kekerabatan yang kental pada Etnis karo yaitu pihak Anak beru mengemban tugas melindungi serta menghormati/menghargai pihak Kalimbubu karena pada sistem kekerabatan Etnis Karo Kalimbubu ini di anggap sebagai Dibata idah (Tuhan yang terlihat). Sedangkan pihak Anak beru sebagai garda terdepan, pahlawan serta penolong dalam sistem kekerabatan Etnis Karo.

Tradisi Mbere Besi Mersik merupakan proses penyerahan tumbuk lada yang diberikan Kalimbubu (abang/adik laki-laki) dari ibu kepada anak beru atau bere-bere (anak laki-laki). Bagi penduduk desa Mbetung tradisi ini penting dilakukan terhadap anak laki-laki dalam satu keluarga karena dengan terealisasinya penyerahan tumbuk lada Mbere Besi Mersik ini memberikan hasil ataupun dampak yang besar terhadap orang-orang yang menerima tradisi tersebut. Seperti yang sudah disampaikan di awal adapun alasan dari pemberian tumbuk lada ini, yaitu sebagai bentuk lambang tanggung jawab serta berguna sebagai penguat ataupun pengikat roh. Penduduk yang tinggal desa Mbetung mengenal bahwa alam semesta serta isinya memiliki roh (tendi) masing-masing. Bukan hanya manusia melainkan benda mati maupun hidup dan segala bentuk hal yang ada di bumi. Tumbuk Lada merupakan senjata tajam tradisional etnis Karo yang secara sejarahnya berasal dari masa kerajaan Aru. Tumbuk lada ini di percaya memiliki nilai leluhur yang tinggi di dalamnya, tumbuk lada tersebut terbuat dari bahan kuningan. Tumbuk lada ini juga memiliki ukiran-ukiran yang berfungsi bukan hanya sebagai keindahan pada senjata ini namun memiliki makna khusus yang memiliki pengaruh terhadap tumbuk lada itu sendiri. Ukiran yang tampak pada Tumbuk Lada dianggap memiliki makna yang berperan penting dalam keteguhan yang terkandung pada Pisau Tumbuk Lada tersebut. Pada zaman dahulu pisau ini merupakan senjata tradisional masyarakat Karo, yang diketahui memiliki makna simbol lambang nilai. Tradisi tersebut dilaksanakan pada saat nangkih-nangkih matawari (saat matahari mulai naik) dengan jangka waktu jam 08:00-11:00WIB, tradisi ini dilaksanakan saat pihak Kalimbubu (Abang/adik laki-laki dari ibu) sudah merasa pantas dilaksanakan atau diberikan dan jika bere-bere dalam keadaan kurang sehat maka akan diberikan kepada Anak Beru ataupun dalam bahasa karo “bere-bere” (anak laki-laki ). Tumbuk lada ini sendiri akan di serahkan langsung oleh kalimbubu (abang/adik laki-laki dari ibu) bersamaan dengan pedah-pedah (doa serta harapan baik) yang diucapkan langsung beserta perangkat lainnya seperti beka buluh (Kain Karo) setelah itu njujungi beras (menaruh beras ke kepala) oleh semua pelaku yang ikut dalam proses pemberian Tumbuk Lada tersebut. Tradisi Mbere Besi Mersik merupakan proses penyerahan tumbuk lada yang diberikan Kalimbubu (abang/adik laki-laki) dari ibu kepada anak beru atau bere-bere (anak laki-laki). Bagi penduduk desa Mbetung tradisi ini penting dilakukan terhadap anak laki-laki dalam satu keluarga karena dengan terealisasinya penyerahan tumbuk lada Mbere Besi Mersik ini memberikan hasil ataupun dampak yang besar terhadap orang-orang yang menerima tradisi tersebut. Seperti yang sudah disampaikan di awal adapun alasan dari pemberian tumbuk lada ini, yaitu sebagai bentuk lambang tanggung jawab serta berguna sebagai penguat ataupun pengikat roh. Penduduk yang tinggal desa Mbetung mengenal bahwa alam semesta serta isinya memiliki roh (tendi) masing-masing. Bukan hanya manusia melainkan benda mati maupun hidup dan segala bentuk hal yang ada di bumi. Tumbuk Lada merupakan senjata tajam tradisional etnis Karo yang secara sejarahnya berasal dari masa kerajaan Aru. Tumbuk lada ini di percaya memiliki nilai leluhur yang tinggi di dalamnya, tumbuk lada tersebut terbuat dari bahan kuningan. Tumbuk lada ini juga memiliki ukiran-ukiran yang berfungsi bukan hanya sebagai keindahan pada senjata ini namun memiliki makna khusus yang memiliki pengaruh terhadap tumbuk lada itu sendiri. Ukiran yang tampak pada Tumbuk Lada dianggap memiliki makna yang berperan penting dalam keteguhan yang terkandung pada Pisau Tumbuk Lada tersebut. Pada zaman dahulu pisau ini merupakan senjata tradisional masyarakat Karo, yang diketahui memiliki makna simbol lambang nilai. Tradisi tersebut dilaksanakan pada saat nangkih-nangkih matawari (saat matahari mulai naik) dengan jangka waktu jam 08:00-11:00WIB, tradisi ini dilaksanakan saat pihak Kalimbubu (Abang/adik laki-laki dari ibu) sudah merasa pantas dilaksanakan atau diberikan dan jika bere-bere dalam keadaan kurang sehat maka akan diberikan kepada Anak Beru ataupun dalam bahasa karo “bere-bere” (anak laki-laki ). Tumbuk lada ini sendiri akan di serahkan langsung oleh kalimbubu (abang/adik laki-laki dari ibu) bersamaan dengan pedah-pedah (doa serta harapan baik) yang diucapkan langsung beserta perangkat lainnya seperti beka buluh (Kain Karo) setelah itu njujungi beras (menaruh beras ke kepala) oleh semua pelaku yang ikut dalam proses pemberian Tumbuk Lada tersebut.

Kalender karo juga merupakan salah satu pelengkap yang sangat penting akan pemilihan hari pelaksanaan pemberian tumbuk lada niktik wari. Proses kelancaran upacara tradisi Mbere Besi Mersik dipercayai etnis Karo Desa Mbetung sebagai pendukung maupun patokan yang dilihat dari jenis hari baik yang sesuai dengan kalender Karo tersebut. Masyarakat Desa Mbetung memegang teguh terkait tradisi-tradisi yang diperoleh dari para lelehur mereka.

Bagian-Bagian Spesifik Tumbuk Lada

Sukul (Gagang)

Nilai: Terbuat dari bahan dasar tanduk kerbau, kuat, tidak mudah pecah.

Simbol: Dapat berfungsi sebagai penolak bala/penangkal dari roh jahat.

Tegelen (Boltster)

Nilai: Kuat, menyatukan antara gagang dan bilah pisau untuk memperkuat struktur.

Simbol: Melambangkan persatuan dan mempererat hubungan.

Mata Piso

Nilai: Bilah pisau yang tajam, menunjukkan kegunaan pisau.

Simbol: Menyimbolkan kekuatan dan keberanian dalam kehidupan.

Sangge

Nilai: Terbuat dari tanduk kerbau yang kuat serta tahan lama.

Simbol: Dapat berfungsi sebagai penolak bala/penangkal roh jahat.

Sembung (Sarung)

Nilai: Terbuat dari kayu pohon joar yang kokoh dan tahan lama.

Simbol: Melambangkan kekuatan dan ketahanan dalam kehidupan.

Rempu (Simpai)

Nilai: Terbuat dari bahan dasar kulit rotan.

Simbol: Melambangkan keterikatan dan pemersatu antara satu bagian dengan bagian lainnya.

Ikur

Nilai: Terbuat dari tanduk kerbau yang kokoh, kuat, serta gagah.

Simbol: Menunjukkan kekuatan serta keteguhan dalam menghadapi kesulitan hidup.