MENCETAK PROBLEM SOLVER DITENGAH DUNIA YANG SEMAKIN SARAT MASALAH
PENDIDIKAN ABAD 21 :
MENCETAK PROBLEM SOLVER DITENGAH DUNIA YANG SEMAKIN SARAT MASALAH
(Mahendra Tlapta Sitepu, Pemerhati Inovasi)
————————————————
Apa yang paling penting diajarkan kepada anak-anak di era digital dan kecerdasan buatan seperti sekarang ini? Apakah masih relevan mendewakan kemampuan menghafal atau mengejar nilai tinggi melalui segala kompetisi?
Tony Wagner, seorang pakar pendidikan dari Harvard University memaparkan kompetensi manusia abad 21 dengan kompetensi utama ‘critical thinking dan problem solving’—bukan sekadar cerdas dalam teori, tapi mampu menguraikan masalah kompleks dan menemukan solusinya dengan bijak.
"The world doesn't care anymore about what you know; the world cares about what you can do with what you know."
— Tony Wagner, Harvard Innovation Lab
A. KRITIS DAN SOLUTIF : DUA SAYAP GENERASI MASA DEPAN
Berpikir kritis bukan hanya tentang kemahiran berlogika, namun penggabungan antara kemampuan analitik (kemampuan memecah persoalan) dan kemampuan sintesis (kemampuan merajut kembali solusi). Sayangnya, kurikulum kita masih terlalu terpusat pada soal-soal pilihan ganda dan hafalan.
Padahal, dalam kehidupan nyata, kita berhadapan dengan masalah yang tidak memiliki satu jawaban pasti. Mulai dari masalah keluarga, lingkungan, hingga masalah global seperti krisis pangan dan perubahan iklim. Semua itu butuh generasi yang mampu menganalisis dan menciptakan solusi—bukan hanya berdiam diri, mengeluh atau menyalahkan keadaan.
B. DEKAT DENGAN MASALAH, LEBIH TAJAM MENGANALISA
Mengapa ibu rumah tangga bisa dengan cepat mengenali kesalahan dalam resep masakan, sedangkan chef profesional kadang justru kaku? Jawabannya: kedekatan dengan realitas.
Dalam pendidikan, siswa semakin dekat dengan konteks masalah, semakin tajam intuisi mereka. Maka penting lebih memperbanyak pengalaman nyata dalam pembelajaran, bukan sekadar simulasi atau teori.
Namun, bagi mereka yang tidak dekat dengan masalah—seperti siswa kota yang belajar tentang petani desa—empati menjadi jembatan. Empati yang menjurus mengalami pengalaman nyata, memungkinkan kita ‘merasakan’ tantangan orang lain, sehingga kita bisa menyusun solusi yang manusiawi dan relevan.
"Intelligence is the ability to learn from experience"— Albert Einstein (1879–1955), ilmuwan, Jerman
C. ANAK-ANAK PERLU BERLATIH SURVIVAL SKILL, BUKAN SEKEDAR BUKU TEKS
Anak-anak perlu diberi kesempatan belajar dari keseharian, bukan hanya dari buku atau layar. Kegiatan seperti : membersihkan kamar, memasak makanan sederhana, menanam sayur di pekarangan, bertukang, memperbaiki barang rusak, mengelola sampah rumah tangga, kesemuanya ini adalah laboratorium kehidupan paling nyata. Mereka belajar tentang sebab-akibat, tanggung jawab, dan refleksi atas tindakan mereka.
Melalui kegiatan diatas mereka sekaligus juga diperkenalkan pada sains terapan yang relevan—ilmu yang langsung digunakan dalam kehidupan nyata. Hal ini sejalan dengan konsep ‘experiential learning’ dari David Kolb, anak belajar melalui siklus pengalaman: mencoba, merefleksi, memahami, lalu mencoba lagi.
D. MENGAPA KREATIFITAS ANAK SEMAKIN TERHILANG KETIKA DEWASA?
Sebuah paparan di platform TED Talk yang terkenal dari Sir Ken Robinson menyebutkan bahwa semua anak adalah seniman. Tapi sistem pendidikan membuat mereka perlahan kehilangan kreativitasnya. Ironis, bukan?
"Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once we grow up."
— Pablo Picasso (1881–1973), pelukis, Spanyol
Jika kreativitas adalah aset penting masa depan, seharusnya pendidikan membantu mengembangkannya—bukan membiarkannya menjadi layu!
E. DIAGRAM IKIGAI : MEMANDU ANAK MENEMUKAN TUJUAN HIDUP
Di Jepang, ada konsep bernama Ikigai—seperti alasan seseorang untuk bangun di pagi hari dengan penuh semangat. Ikigai merupakan irisan antara : apa yang kita cintai, apa yang kita kuasai, apa yang dibutuhkan dunia dan apa yang bisa mendatangkan penghasilan untuk keberlanjutan.
Bayangkan jika anak-anak dibantu untuk menyusun ikigai-nya sejak dini. Mereka akan mengerti mengapa mereka harus belajar, apa yang ingin mereka kuasai dan masalah apa yang ingin mereka bantu selesaikan di tengah-tengah masyarakatnya.
Penelitian dari Hector dan Miralles menunjukkan bahwa orang yang hidup sesuai dengan ikigai-nya cenderung lebih sehat dan lebih bahagia.
F. PENUTUP : PENDIDIKAN UNTUK KEHIDUPAN, BUKAN SEKEDAR UJIAN
Abad 21 bukan zamannya lagi bagi anak-anak piawai dalam ujian atau menjawab soal-soal. Ini adalah era menjadi pemecah masalah. Guru bukan lagi sekadar pengajar, tapi fasilitator. Sekolah bukan hanya tempat belajar tapi laboratorium kehidupan.
Saat anak kita tahu apa yang ia suka, kuasai dan ingin ia ubah di tengah masyarakatnya atau dunia, ia tidak sekadar bersekolah. Ia sedang menyiapkan dirinya menjadi manusia utuh—yang berpikir kritis, hidup dengan empati dan bertindak untuk kebaikan bersama.
Bukankah ini tujuan utama dari pendidikan yakni mengembangkan versi terbaik manusia dan bukan versi terbaik industri? :)
Medan,
29 Apr 2025